ARAH PERJALANAN HIDUP UMAT, DITINJAU DARI NAFAS IDEOLOGI POLITIK YANG DIPILIHNYA

baliho-pilih-pmb3ARAH PERJALANAN HIDUP UMAT, DITINJAU DARI NAFAS IDEOLOGI POLITIK YANG DIPILIHNYA
Oleh : Arief Chalid AR Sutan Mansur

PERTARUNGAN IDEOLOGI DALAM PERPOLITIKAN
Secara harfiah banyak orang mengartikan bahwa politik semata-mata hanya mengejar kekuasaan. Sehingga muncul pandangan sinis terhadap orang-orang yang terjun ke dunia politik, mereka sering dianggap sebagai rakus kekuasaan !. Sikap sinis dalam memandang aktifis politik kemudian menjalar lebih luas, tidak semata-mata menjauhinya akan tetapi ada pula yang menganggap orang-orang politik adalah orang-orang yang gampang dimanfaatkan untuk sekedar meraih uangnya karena ambisi politik adalah ambisi kekuasaan yang artinya sanggup mengeluarkan uang berapapun yang ia miliki demi berkuasa tersebut. Maka banyak politisi memainkan dan dimainkan dengan “politik uang”, berlakulah azas dimanfaatkan dan memanfaatkan dimasyarakat kita. Dan money politics adalah permainan dalam setiap pemilu dinegeri kita. Dan atas dasar itulah kian kabur tujuan orang dalam menjalankan aktifitas politik.
Dan oleh sebab itulah masyarakat gampang meremehkan aktifitas politik, karena pendidikan politik dikalangan kita juga tidak dilakukan secara benar. Politik awut-awutan menjalar pula dimana-mana, janji-janji palsu bertebaran, kebohongan publik bermain dan sulit dikendalikan. Bahkan partai-partai politik yang ikut menentukan kebijakan sistem politik malah lebih duluan melanggar, akibat teracuni oleh pandangan yang mengatakan “aturan dibuat untuk dilanggar!”.
Ketika hal itu masuk ketengah umat Islam, dalam interaksi sosial disaat suara umat Islam sangat dibutuhkan demi membesarkan partai politik maka umat hanya menjadi objek untuk jadi batu loncatan meraih tampuk kekuasaan. Karena dasar pemahaman perpolitikan yang dibangun dinegeri kita telah rancu dan awut-awutan, orang tidak lagi memandang bahwa berpolitik juga dapat menjadi sarana ibadah dalam pengertian yang luas.
Dampaknya ialah apapun ideologi dalam sistem politik tidak lagi menjadi acuan penting, tak peduli itu sekuler, liberal, machiavelis, berhalaisme, bahkan yang nyerempet zionis, kapitalis dan agak atheis. Suara umat Islam yang idealnya dilimpahkan untuk menguatkan azas Islam dalam politik, malah berserakan dimana-mana. Dan pada akhirnya, umat Islam itu sendiri yang akhirnya termarginalkan akibat pilihannya yang keliru tadi.
Hal semacam itulah yang menjadi bahan pemikiran tentang perlunya pendidikan dan pencerahan politik ditengah umat Islam. Karena jika umat kurang memahami kondisi dan situasi perpolitikan, tidak tertutup kemungkinan melalui jalur inilah potensi umat Islam dilemahkan musuh-musuhnya. Dan siapakah yang dapat menjamin bahwa kekuatan zending tidak bermain dalam situasi politik dinegeri ini? Dan siapa pula yang dapat menjamin bahwa anak turunan ideologis komunis tidak akan muncul dan bangkit kembali dinegeri ini? Maka sekaranglah waktunya memikirkan.

APA YANG MELATARBELAKANGI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM?
Dalam kehidupan beragama yang majemuk, ditengah umat Islam juga terdapat keragaman dalam memandang aktifitas politik. Ada komunitas muslim yang sangat anti dengan partai politik. Mereka berpandangan bahwa partai politik adalah wadah mubazir, meniru-niru orang kafir dan sebagainya. Umumnya kelompok yang berfikir seperti ini telah didominasi dengan penilaian bahwa partai politik adalah perangkat demokrasi, sedangkan demokrasi adalah sistem diluar Islam. Akibatnya, komunitas ini enggan menjadi pemilih dalam setiap pemilu (menjadi golput).
Dan didalam kelompok muslim golput tersebut, tidak ada kerisauan sama sekali apakah yang akan naik memimpin negeri ini orang kafir atau orang mukmin. Mereka sibuk dengan aktifitas ekslusif dalam internal masing-masing sembari menjauhi apapun yang bernuansa politik.
Kajauhan umat Islam dengan politik justru akan memudahkan bagi gerakan-gerakan pemurtadan untuk menguasai negeri-negeri muslim. Kekuatan politik identik dengan pengaruh dan kekuasaan. Bayangkanlah jika umat Islam dibiarkan menjauhi hal-hal yang bersifat politik kekuasaan, dampaknya tiada lain ialah ruang kosong yang ditinggalkan umat Islam itu akan diisi oleh kekuatan lain dengan tujuan dan arah yang lain pula.
Bukankah umat diperintahkan untuk menegakkan ‘amar’ ma’ruf nahi munkar? Isim ‘amar’ disitu juga lazim diartikan oleh alim ulama’ sebagai ‘kekuasaan’ atau ‘pengaruh’. Tanpa adanya kekuasaan dan pengaruh, bagaimana mungkin bisa dilancarkan dengan baik segala upaya mengajak manusia kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar? Sejarah telah membuktikan, ketika negeri-negeri muslim tidak lagi dikuasai oleh orang muslim maka umat Islam cenderung menjadi objek kesadisan, penzhaliman, pemurtadan dan penindasan. Maka penting dilihat, dari sistem politik idiologi mana seseorang dinaikkan dalam tahta kekuasaan. Di Turki misalnya, berpuluh tahun lamanya sistem kekuasaan Turki didominasi partai-partai sekuler.
Siapakah yang membesarkan partai-partai sekuler di Turki? Tiada lain umat Islam sendiri, yang tadinya lalai dengan pendidikan politik bernuansa Islam. Dampaknya kemudian baru dirasakan setelah Turki kian diarahkan untuk menjadi semakin liberal dan sekuler. Dan sejak sepuluh tahun belakangan mulailah penduduk muslim Turki menyadari betapa pentingnya mereka memihak kepada partai-partai berazas Islam semisal Refah, Partai Kemakmuran (silahkan baca buku Gerakan dan Pemikiran Keagamaan, WAMI, Ishlahy Press) dan sebagainya itu.
Lantas bagaimana kondisi Indonesia? Kondisinya hampir sama saja dengan Turki. Umat Islam dinegeri ini justru kekuatan mayoritas yang mendominasi suara-suara pemilihan umum dan sejak Orla, Orba hingga era Reformasi ini kondisinya tak jauh berubah, partai politik berazas sekuler tetap dominan dan menjadi pilihan umat Islam. Padahal telah berdiri sejumlah kecil partai-partai politik berazas Islam. Orang muslim di Indonesia tidak memandang bahwa partai-partai berazas non Islam sebagai suatu yang berbahaya bagi keberlangsungan regenerasi muslim dinegerinya sendiri. Mungkin karena disebabkan tidak tegasnya orang menyatakan bahwa partai politiknya adalah berazas sekuler, sehingga dengan cara itu tidak ada alasan membedakannya dengan partai politik yang berazas Islam. Toh, juga elit-elit dipartai politik berazas sekuler tetap bisa menggunakan simbol-simbol Islam, merayakan hari-hari besar Islam sehingga mempengaruhi umat Islam untuk membesarkan partainya yang sejatinya ialah sekuler.
Toh juga sejumlah fakta membuktikan bahwa elit-elit partai politik berazas Islam tetap bisa terjerumus dalam lumpur korupsi yang membusuk itu. Sehingga masyarakat beranggapan sama saja, mau azas Islam atau sekuler.
Konteks itulah yang penting kita kaji mendalam. Apakah partai-partai politik yang menyebut diri mereka berazas Islam itu betul-betul menjalankan segala prinsip Islam dalam kesehariannya termasuk dalam perilaku politiknya? Jika hanya menggunakan simbol dan nama Islam, namun perilaku politiknya tiada beda dengan perilaku sekuler, lantas dimana membedakannya lagi? Betapa naif dan menyakitkan, jika Islam dibawa-bawa sebagai azas dan simbol politik, namun perilaku dan prinsip Islam dalam berpolitik malah ditinggalkan. Maka jangan kecewa jika umat akhirnya menjadi rapuh dan mudah diajak pihak lain untuk membesarkan kekuatan politik berazas non Islam. Untuk itulah maka penting evaluasi dan intropeksi dilevel partai-partai politik yang “mengaku” berazas Islam.
Hal yang cukup riskan misalnya, masih banyak aktifis partai politik berazas Islam yang lalai shalatnya. Bahkan sejumlah elit-elitnya terindikasi terlibat kecurangan dan permainan politik kotor berbau korupsi itu. Satu sisi kita ingin mengajak umat memihak untuk membesarkan partai-partai berazas Islam, disisi lain umat juga masih kurang percaya dengan perilaku politik yang dijalankan partai-partai berazas Islam itu. Dan akhirnya muncullah pendapat yang mengatakan bahwa ‘Islam adalah baju yang sempit” untuk dijalankan dalam azas partai politik. Pendapat seperti ini tentu pendapat orang yang kecewa dan marah besar dengan elit-elit politik yang mengaku memakai azas Islam namun tidak menjalankan prinsip Islam dengan sebenar-benarnya. Tapi juga amat menggetirkan jika Islam dikatakan sempit!.
Ada sejumlah orang berpendapat bahwa untuk menjalankan prinsip-prinsip Islam dalam berpolitik, tidak ada kemestian harus berada dalam partai politik berazaskan Islam jika orang-orang yang berada dalam partai politik berazas Islam itu belum bisa sepenuhnya istiqomah menjalankan segala nilai dan prinsip perilaku berpolitik sesuai Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa didalam partai politik berazas sekuler sekalipun terdapat banyak orang-orang yang sholeh dalam menjalankan ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Apakah sampai disitu pemikiran politik Islam berjalan? Padahal peran dan fungsi partai politik berada setingkat dibawah negara, partai politik juga memiliki kemampuan menentukan arah kebijakan, peraturan dan perundangan disebuah negara. Jangan-jangan memang begitu lancarnya distorsi pemahaman politik ditengah umat kita yang mayoritas ini. Atau memang kita sama-sama terlanjur terlelap dalam memaknai kewajiban mensyi’arkan Islam lewat segala jalur, padahal kita meyakini Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Tak ada alasan bagi kita selaku mukmin untuk menjauhi segala nuansa Islam dalam segala aspek kehidupan termasuk berpolitik itu sendiri. Apalagi undang-undang resmi negara kita ini tidak melarangnya. Sedangkan orang lain saja diluar Islam sudah berani dengan terbuka membawa simbol dan hakikat ajaran agama mereka dalam platform partai politik. Sementara ditengah umat Islam sendiri masih banyak yang salah faham dan salah mengerti jika saudaranya seiman memunculkan partai berazas Islam.

PENGUATAN KUBU ISLAM DIPARLEMEN MAKIN DIBUTUHKAN.
Apa pula khabar Indonesia ke depan? Didalam era yang dikatakan orang sebagai Millenium III atau juga Globalisasi dan sebagainya, tidak ada yang lain yang tampak kecuali akan terjadi dan sedang berlaku persaingan antar ideologi. Gejala bangkitnya faham sosialisme, liberalisme dengan ruh baru mereka sudah nampak membayang dalam suasana politik internasional. Sementara Islam belum nampak sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Dalam konteks jumlah memang umat Islam banyak dan diperhitungkan, namun secara kuantitas belum. Putaran ekonomi dunia Arab masih bergantung dengan kaum kapitalis yang memainkan peranan kuat di Jazirah Arab seluruhnya.
Ketergantungan dengan dollar juga tak dapat dihindari, dimana akan lahir kemandirian dunia Islam kembali? Segala aspek diperlukan untuk mengangkat kembali harkat dan martabat dunia Islam itu, termasuk dalam sistem keuangan, politik dan ekonomi.
Dalam al-Baqarah 120 sudah diterangkan bahwa akan tetap berlaku (abadi) apa yang disebut sebagai infiltrasi ideologi atau upaya-upaya mewarnai kehidupan orang beriman untuk berbalik kufur kepada Allah. Dalam dalam konteks itu segala lini kehidupan digunakan semua pihak yang hendak menggarami kehidupan umat Islam agar berbalik dari arah tujuan kehidupannya.
Siapapun pakar politik sama-sama memahami bahwa kesatuan kekuatan politik umumnya diarahkan untuk satu tujuan yang sama, demi kepentingan kolektif, demi kepentingan dominasi ideologi tertentu dalam mewarnai kehidupan yang luas.
Kenapa orang tidak takut ketika ada partai politik mendeklarasikan bahwa mereka berazaskan sekuler? Kenapa orang dibikin begitu khawatir jika muncul partai politik berazas Islam? Ada apa dengan Islam dalam konteks kepartaian didalam hal ini?
Mungkin kita dapat memahami karena adanya kecideraan sejarah masa lalu semisal yang dilakukan Masyumi dalam hubungannya dengan PRRI. Tapi kini, partai-partai berazas Islam tidak lagi mengarah kesitu, semua sepakat NKRI sudah final sebagaimana yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Lantas apa lagi yang dikhawatirkan?
Akibat khawatir yang tak tentu arah itu, maka dampaknya kontribusi penguatan kubu Islam diparlemen berpotensi melemah dari waktu ke waktu. Memang kubu Islam disini juga dapat diartikan sebanyak apa jumlahnya orang Islam duduk di parlemen kita. Jangan sampai dinegeri yang berpenduduk mayoritas muslim malah parlemennya didominasi kaum sekuler, sebagaimana yang dialami oleh Turki dan sebagainya.
Segala undang-undang dan peraturan yang sah dapat dilahirkan di parlemen, lantas sejauh mana orang Islam berfikir untuk turut mewarnai perjalanan kebangsaan kita dengan memasukkan kader-kader muslim di parlemen ke depan? Apa saja proses yang perlu dijalani oleh kader-kader tersebut untuk becus mewakili kepentingan dakwah Islam di parlemen, ini satu hal yang belum dikupas.
Jika sekedar membawa-bawa simbol-simbol Islam kedalam “baju” politik maka samalah artinya kita mencampakkan peran dan makna serta hakikat Islam itu sendiri dalam fungsinya memberi kerahmatan bagi semua. Kubu Islam diparlemen bukan hendak merubah secara drastis segala bangunan bangsa dan negara ini, jangan diartikan sejauh itu sehingga “mudah” dituduh yang bukan-bukan nantinya. Akan tetapi setidaknya dakwah dan aspirasi umat Islam ini dapat tersalurkan dengan mudah tanpa kontrak politik yang mahal-mahal itu.
Yang mahal-mahal itu seperti “terjual”nya Ormas Islam dalam mendukung partai-partai berazas sekuler…dan akhirnya, sangat mahal sekali taruhannya ke depan bagi nasib umat ini dimasa akan datang. Proses marginalisasi umat Islam dalam konteks politik justru terjadi karena banyaknya tokoh-tokoh Islam “menyebrangi” azas Islam menuju basis-basis kekuatan sekuler. Sehingga umat kehilangan izzah dirumahnya sendiri.
Wallahul musta’an.

~ by hernowo on January 2, 2009.

Leave a comment