PANDANGAN ISLAM TENTANG KEMAKMURAN

•January 2, 2009 • Leave a Comment

PANDANGAN ISLAM TENTANG KEMAKMURANOleh Arief Chalid AR Sutan Mansur. A.Md.Kom, BSc

arifrahman2  

Menurut Dr. Syauqi Ahmad Dunya dalam bukunya berjudul Al-Iqtisad Al-Islami, aspek-aspek kehidupan dalam pandangan Islam dibagi berdasarkan kebutuhan (al-Haajah) yang diatur berdasarkan tujuan mendapatkan mashlahat dunia – akhirat, jasmani-ruhani, materil-non materil, jangka pendek-jangka panjang dan sebagainya dalam varian yang luas, namun proses pemenuhan kebutuhan berikut materialnya harus sesuai dengan koridor yang Allah SWT tetapkan tentang halal-haram, mashlahat-mudharat dan seterusnya. Al-Haajah dalam konsep Islam didahulukan daripada keinginan-keinginan dan dimaksudkan untuk menundukkan hawa nafsu serta mengindari syubhat (sesuatu yang meragukan) serta terkendali dari syahwat yang buruk (nafsu lawamah). Hal ini berbeda dengan sistem konvensional di Barat yang mengakomodasi keinginan (al-raghbat) secara berlebihan. Dan berbeda pula dengan sistem Komunis yang mengutamakan kecenderungan (al-mail) dan rangsangan nafsu (al-syahwat) tanpa batas.
arief-aulia2
Kebutuhan manusia mendapat pembatasan dari Allah SWT, sehingga ada koridor yang mesti diperhatikan misalnya halal dan haram. Prinsip ekonomi Islam memberlakukan pembatasan tersebut, maka orientasi manusia dalam hidup diarahkan untuk mencapai apa yang Allah ridhai. Dan karena itu pulalah Islam sangat menentang budaya konsumerisme, pemborosan, kekikiran, kesia-siaan dan segala hal yang mendatangkan kerusakan secara individu maupun sosial.
Dalam status kepemilikan, Islam menghargai kepemilikan individu dan kolektif. Kepemilikan atas sesuatu terlindungi didalam Islam selama proses mendapatkannya tidak melampaui batas dan tidak pula mencakup kegiatan yang haram. Dan disetiap kepemilikan terdapat hak orang lain yang diatur dalam Islam sehingga ada ketentuan zakat, infak dan sedekah. Sehingga didalam Islam kepemilikan individu atau kolektif tetap memiliki tanggungjawab sosial.
Dalam literatur pemikiran ekonomi di Barat, kebutuhan (need) juga tidak diabaikan. Lantas dimana letak perbedaannya dengan Islam? Bedanya ialah, sistem ekonomi Islam membatasi aspek pemenuhan kebutuhan dengan koridor tertentu (misalnya ada halal dan haram) sedangkan dalam sistem konvensional Barat cenderung tidak memiliki batasan atau lebih berorientasi kepada sesuatu yang disebut unlimited (tidak memiliki batasan). Sistem ekonomi yang bersifat unlimited seperti itu mirip dengan sistem jahiliyah dahulu karena kebutuhan manusia diliputi dengan syahwat (rangsangan nafsu) dan kecenderungan-kecenderungan tidak terikat dengan apapun sehingga menjadi serba bebas dan tidak memiliki konsep halal haram.
Demikianlah selintas tentang al-furqan (pembedaan) antara sistem Islam dengan sistem diluar Islam. Dalam menstudi ghozyul fikri, hal ini diperdalam karena untuk menghindarkan kerancuan berpikir harus dimulai dengan pengklasifikasian dan pengkategorian mana yang berasal dari sistem nilai Islam dan mana yang bukan serta apa saja yang menjadi batasan-batasannya.
Dan akan lebih menarik lagi nanti ketika kita perdalam lebih lanjut tentang kemakmuran dalam konsepsi Islam, yang nyatanya amat berbeda dengan sistem nilai yang ada pada ideologi lain diluar Islam.

Kebutuhan Dan Kemakmuran.
Dari hasil kajian al-Qur’an dan as-Sunnah, maka pokok-pokok kebutuhan manusia dapat diketahui dengan pasti misalnya : pangan, air, pakaian, tempat tinggal, biologis, pendidikan, kesehatan, transportasi, keamanan, kenyamanan, hiburan, status sosial dan loyalitas.
Imam al-Ghozali dan Imam Izzuddin bin Abd Salam berpendapat bahwa yang paling tepat dan mampu menerangkan kebutuhan manusia ialah sang Pencipta manusia itu sendiri, yakni Allah Ta’ala. Dan walaupun kebutuhan manusia dibatasi didalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak berarti segalanya akan tetap (fixed). Karena secara hakikat dan kenyataannya kebutuhan manusia itu mengalami perubahan bentuk, nilai, varian dan lain sebagainya sesuai zaman masing-masing. Sehingga terdapat keragaman dalam berbagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia sesuai zamannya masing-masing. Prinsip kebutuhan tersebut akan tetap bersifat objektif rasional. Dan disitulah pentingnya peranan ijtihad, sehingga Islam akan mampu mengikuti perkembangan kebutuhan manusia disegala zaman.
Islam menerapkan ketentuan dan pedoman dalam usaha memenuhi kebutuhan manusia kedalam 3 bentuk tingkatan : Pertama; tingkat pemenuhan kebutuhan primer yang merupakan batas minimal untuk kelangsungan hidup manusia. Menurut Ibnu Taimiyah, jika kebutuhan primer ini tidak dipenuhi maka manusia sulit menemukan fitrahnya dalam menjalankan tugas kehidupan didunia. Kedua; tingkat kebutuhan sekunder. Jika manusia dapat memenuhi kebutuhan sekunder ini maka kelancaran tugas dan tujuan hidupnya relatif akan terjamin. Ketiga; tingkatan kebutuhan yang beraneka ragam, bentuk, macam dan kuantitasnya dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Yakni tingkatan yang sifatnya hanya melengkapi, menghiasi dan menghibur.
Sebagian ulama’ Islam berpendapat bahwa selain 3 tingkatan diatas maka kebutuhan hanyalah berupa kehancuran, kerusakan dan kesia-siaan.
Pedoman Islam dalam hal ini ialah pemenuhan kebutuhan yang bersifat pembangunan, pengembangan dan pensucian diri. Dan jika telah mencapai syarat pembangunan, pengembangan dan pensucian diri maka ia disamakan dengan tahapan mencapai KEMAKMURAN.
Salah satu ulama’ Islam yang mengupas lebih dalam tentang kemakmuran yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikupas oleh Prof. DR. A.A. Ishlahi dalam buku berjudul Centre for Research in Islamic Economics (buku ini lahir dari proyek riset Universitas Islam King Abdul Aziz-Jeddah).
Menurut Ibnu Taimiyah, kemakmuran dalam persepsi Islam bertujuan untuk mencapai moral kehidupan yang baik. Beliau juga menambahkan bahwa akan banyak sekali kewajiban agama yang tidak dapat dijalankan jika kemakmuran belum dicapai. Dan masyarakat yang tidak mencapai kemakmuran secara otomatis sulit menjalankan agamanya secara kaffaah (totalitas) termasuk dalam hal ibadahnya kepada Allah SWT. Sehingga oleh sebab itulah Islam sangat menganjurkan agar umat manusia mau mencapai kehidupan dunia yang lebih baik(hasanat fid duniya) karena hal itu berkorelasi dengan upaya mencapai hasanat fil akhirat.
Ibnu Taimiyah sangat menolak sikap hidup yang menjauhi keduniaan sebagaimana dianuti oleh kalangan sufi ortodok. Bahkan beliau berpendapat bahwa keduniaan harus diraih oleh umat Islam sebagai sarana untuk mencapai kemampuan dalam memenuhi kewajiban dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Oleh sebab itu pula Ibnu Taimiyah berkesimpulan bahwa syarat mutlak untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya ialah harus dicapai lebih dulu kemakmuran umat. Kemiskinan justru akan menghambat umat Islam untuk menjadi kaaffah. Dan kemiskinan merupakan penghalang utama bagi mewujudkan masyarakat Islam yang utama dan yang sebenar-benarnya.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, kemakmuran jauh berbeda dengan kekayaan semata. Kemakmuran lebih tinggi kedudukannya daripada kekayaan, keduanya (antara kemakmuran dan kekayaan) saling berinteraksi dan membutuhkan. Kekayaan akan meningkatkan hak, sementara kemakmuran mengarahkan kepada upaya pencapaian kewajiban. Dan oleh sebab itulah Islam berpandangan bahwa orang kaya adalah mitra potensial bagi orang miskin, orang miskin sangat diperlukan oleh orang kaya.
Prof. Henri Laoust menyatakan kekagumannya terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah tentang kemakmuran diatas, beliau menyatakan : “….doktrin Ibnu Taimiyah sangat mendorong pengorganisasian secara aktif didalam penerapan ekonomi masyarakat dengan alasan bahwa dengan ketiadaan organisasi semacam itu, kemakmuran akan mandeg dan kemudian akan cenderung menyusut dan akhirnya menghilang semuanya. Dalam sejumlah hal, Ibnu Taimiyah telah melampaui pemikiran ilmuwan lainnya terutama dalam kajian kemakmuran ini yang sangat mengagumkan untuk sebuah tesis pemikiran di penghujung abad ke 7 Hijriyah masa itu”(Laoust., H, Essai, op.cit, hlm 441).
Tentunya kupasan penulis dalam artikel ini tidak mengurai lebih dalam apa yang jadi objek kajian Ibnu Taimiyah tersebut, karena akan sangat panjang sekali muatannya. Namun untuk sebuah pengantar tentang kajian kemakmuran, insya Allah tulisan ini sangat berguna sekali.

Sebab-sebab Tidak Tegaknya Kemakmuran.
Sejumlah ilmuwan Islam abad ke 7 dan 8 Hijriyah telah mencoba menuliskan tentang apa yang kita sebut sekarang ini sebagai garis besar haluan ekonomi Islam, yang didalamnya banyak menerangkan pokok-pokok kesuksesan mencapai kemakmuran serta hambatan-hambatannya.
Misalnya, yang diungkapkan Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyah, atau oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in, Ibnu Khaldun dalam Kitab Al-lbar dan sebagainya. Ketiganya menyebutkan bahwa diantara sebab tidak dapat ditegakkannya kemakmuran ialah : (1) Persatuan dan Persaudaraan sesama manusia belum dapat ditegakkan, sehingga manusia hidup saling curiga, saling berburuk sangka dan berpecah belah. Perpecahan akan merusak setiap upaya mencapai kemakmuran dan oleh sebab itu Islam sangat menolak perpecahan. Dan yang sangat jarang didengar oleh orang di Barat bahwa Islam amat sangat mencintai perdamaian dan menganjurkan toleransi. (2) Orientasi manusia cenderung berlebihan kepada meraih kekayaan, sedangkan kekayaan itu cenderung kepada menuntut hak sehingga belum terjadi keseimbangan dengan upaya kemakmuran yang mendahulukan kewajiban. (3) sifat egoisme individu lebih dominan ketimbang jiwa sosial di masyarakat, sehingga orang hanya berpikir tentang dirinya sendiri dan enggan memikirkan nasib sesamanya. (4) Ketika kekuasaan dijalankan tanpa mengenal arah dan tujuan, sehingga para pemimpin berebut mencari kepuasan nafsu sementara rakyat dijadikan alat untuk mencapai kepuasan para tuan-tuan tanah, raja-raja dan para pemilik modal.
Sementara Prof. Siddiqi. M. Najetullah dalam bukunya berjudul Islam ka Nazriyah-e-Milkiyat (Teori Islam Mengenai Kekayaan; Islamic Publication, 1968) menerangkan sejumlah hambatan kemakmuran yaitu : (1) tidak tegaknya integritas nasional dalam ekonomi kerakyatan (al-Wahdah al-Wathoniyah yang tidak paripurna) (2) tercabutnya keadilan (al-‘adalah) ditengah kehidupan bermasyarakat. (3) ketiadaan supremasi hukum didalam negara (4) ditelantarkannya nasib orang-orang dhu’afa dan anak-anak yatim serta meluasnya pengangguran tanpa ada upaya serius untuk mencegahnya lebih jauh. (5) terlalu banyaknya teori-teori yang tidak mampu dipraktikkan sehingga kesejahteraan menjadi terhalang akibat konsep-konsep yang sulit diamalkan secara nyata.
Pendapat Prof. Siddiqi tersebut sudah terasa lngkap, walau belum korelatif dengan fakta yang ada pada negeri kita sendiri saat sekarang ini. Sejujurnya jika kita lihat pada ukuran dan takaran yang ada untuk negeri kita sekarang ini, hambatan kemakmuran sangat banyak unsur penyebabnya selain 5 sebab yang disampaikan Prof. Siddiqi diatas. Negeri kita misalnya mengalami kelangkaan sumber daya pemimpin yang jujur, rasa tanggungjawab terhadap amanah dan tugas mulai menurun, sikap mementingkan kelompok dan kepartaian sangat tinggi sekali, kekuasaan menjadi barang rebutan sementara sikap adil dan jujur mulai ditinggalkan.
Negeri kita memiliki ratusan ribu sarjana dari S.1 hingga S.3, namun potensi sarjana kita belum maksimal dimanfaatkan. Buktinya kita masih bergantung kepada pihak asing dalam sejumlah hal yang menyangkut eksploitasi sumber daya alam, supremasi hukum masih pandang bulu dan kalangan awam secara mayoritas mengartikan supremasi hukum dengan penuntutan hak sementara hak azasi manusia sering menjadi tameng untuk saling gugat menggugat, keinginan lebih dikedepankan daripada kebutuhan dan kebutuhan sering disalahtafsirkan untuk kepentingan politis kekuasaan. Sehingga penghambat utama kemakmuran dinegeri kita adalah kita sendiri!. Makin banyak orang yang dilibatkan dalam penyelesaian masalah justru makin memperumit masalah itu sendiri. Setiap orang merasa tidak butuh dengan pandangan orang lain, semua punya pendapat dan saling memaksakannya disetiap perkumpulan.
Lantas dari mana kita akan memulai untuk menegakkan kemakmuran itu? Jika pokok masalah justru ada pada kita sendiri. Untuk itu pula lah nasehat dan pesan-pesan Rasulullah saw penting diilmui dan dipraktikkan kembali demi untuk menyadarkan dan menginsyafkan diri kita masing-masing, istilah lainnya yaitu “ibda’ binafsihi” harus mulai dari diri kita sendiri!. Perang dengan orang lain itu justru lebih mudah menyelesaikannya ketimbang perang dari dalam diri kita sendiri.
Makanya Islam mengawali perbaikan dari dalam sebelum melakukan perbaikan keluar. Jika ini dapat dikerjakan maka akan banyak masalah terselesaikan, sehingga kedepan kita berharap kemakmuran dapat ditegakkan dinegeri ini.

Hubungan Kemakmuran Dengan Persatuan.
Apa yang tersimpan dalam kalimat ini? Sekilas ketika kita membacanya kita dapat menerjemahkan bahwa persatuan adalah syarat utama tegaknya kemakmuran ditengah bangsa. Ini kalimat yang mendidik kita, yang menerangkan bahwa persatuan adalah modal utama bagi tegaknya kemakmuran atau dalam istilah lain dikatakan “jangan pernah bicara kemakmuran jika persatuan tidak pernah menjadi panglima”.
Perpecahan (al-iftiraq) adalah sesuatu yang dilarang didalam Islam. Spirit Islam dalam hal ini mendorong manusia untuk hidup rukun, damai, saling pengertian, cinta perdamaian, bersatu untuk kemajuan dan mashlahat, berjiwa sosial yang tinggi dan penuh rasa tanggungjawab.
Perpecahan hanya akan menyulitkan kehidupan manusia dan oleh sebab itulah Islam menganjurkan setiap muslim hidup berdampingan secara elok dan menganjurkan untuk berbuat kebajikan terhadap sesama. Upaya-upaya ishlahul ummah sangat dianjurkan didalam Islam dan setiap orang yang suka memecahbelah agamanya dikategorikan sebagai musuh Islam.
Jika dilihat pada fase kemakmuran secara historis misalnya dizaman Umar bin Abdul Aziz, diawal kepemimpinannya beliau justru mengusahakan lebih dulu segala program Ishlah. Ishlahul Ummah menjadi program pertama dan utama dizaman Umar bin Abdul Aziz, setelah 6 bulan dijalankan dan berhasil mendamaikan berbagai kelompok dan mazhab yang bertikai maka beliau dengan mudah melangkah menuju kemakmuran bangsanya. Sehingga dizaman itu terkenal istilah “ishlahul ummah untuk makmurkan bangsa”. Atau dalam istilah kita sekarang ini dikatakan oleh sejumlah aktifis kita “Satukan umat, makmurkan bangsa”.
Tanpa persatuan mustahil kemakmuran dapat ditegakkan!. Keadilan dan keadaban lahir dari buah kemakmuran, kemakmuran lahir dari persatuan.

Kerinduan masyarakat kita terhadap kemakmuran.
Kemakmuran tidak sama dengan kekayaan, kemakmuran menumbuhkan semangat untuk menjalankan kewajiban sedangkan kekayaan cenderung menuntut hak. Dalam kajian kemasyarakatan, secara kolektif masyarakat idealnya didorong untuk mencapai kemakmuran. Karena dengan dorongan kemakmuran orang mau menjalankan kewajiban, sementara jika diajak memikirkan kekayaan dan bagaimana menjadi kaya hanya akan membuat manusia menuntut hak semata.
Dalam perkembangan industri modern, segala promosi dan iklan produk cenderung mengajak manusia konsumtif dan berfikir bagaimana bisa menjadi kaya. Akhirnya manusia modern condong menuntut haknya dan rata-rata abai terhadap kewajiban.
Dalam bidang pajak dan zakat misalnya, penghalang utamanya ialah manusia yang terlanjur berfikir bagaimana tetap kaya akan. Orientasi menjadi kaya condong pada sikap kikir terhadap yang fakir karena itu maka pengeluaran harta sekecil apapun selalu dipertimbangkan, rasa tanggungjawab sosial menjadi luntur, sikap amanah akan hilang dan yang lahir hanyalah egoisme individu yang masing-masing berebut hendak menjadi kaya raya. Berbeda halnya pada masyarakat yang diorientasikan untuk berfikir hidup makmur, ia akan cenderung memiliki rasa tanggungjawab sosial yang besar.
Sehingga jika harus memilih, maka orang Islam itu akan ideal dengan kemakmuran akan tetapi tidak menolak jika menjadi kaya. Kemakmuran lebih dekat kepada sikap hidup sederhana, namun tidak miskin.
Dan konsep kemakmuran inilah yang selama beratus tahun dahulu dikembangkan dalam kajian-kajian ulama’ salaf. Sehingga dizaman generasi terdahulu tersebut tidak dikenal gaya hidup konsumtif dan tidak pula dikenal sikap kikir terhadap sesama.
Didalam istilah kita sekarang ini dikatakan ‘jika anda ingin hidup boros dan berfoya-foya dengan gaya konsumerisme maka anda harus menjadi kaya lebih dulu, tapi jika anda ingin hidup cukup dan zuhud maka harus mencapai kemakmuran lebih dulu, karena kemakmuran adalah pangkal menuju sikap hidup sederhana, seimbang dan qona’ah serta tidak malas dalam berikhtiar.
Maka, mau kemanakah masyarakat kita diarahkan?
Wallahul musta’an.

ARAH PERJALANAN HIDUP UMAT, DITINJAU DARI NAFAS IDEOLOGI POLITIK YANG DIPILIHNYA

•January 2, 2009 • Leave a Comment

baliho-pilih-pmb3ARAH PERJALANAN HIDUP UMAT, DITINJAU DARI NAFAS IDEOLOGI POLITIK YANG DIPILIHNYA
Oleh : Arief Chalid AR Sutan Mansur

PERTARUNGAN IDEOLOGI DALAM PERPOLITIKAN
Secara harfiah banyak orang mengartikan bahwa politik semata-mata hanya mengejar kekuasaan. Sehingga muncul pandangan sinis terhadap orang-orang yang terjun ke dunia politik, mereka sering dianggap sebagai rakus kekuasaan !. Sikap sinis dalam memandang aktifis politik kemudian menjalar lebih luas, tidak semata-mata menjauhinya akan tetapi ada pula yang menganggap orang-orang politik adalah orang-orang yang gampang dimanfaatkan untuk sekedar meraih uangnya karena ambisi politik adalah ambisi kekuasaan yang artinya sanggup mengeluarkan uang berapapun yang ia miliki demi berkuasa tersebut. Maka banyak politisi memainkan dan dimainkan dengan “politik uang”, berlakulah azas dimanfaatkan dan memanfaatkan dimasyarakat kita. Dan money politics adalah permainan dalam setiap pemilu dinegeri kita. Dan atas dasar itulah kian kabur tujuan orang dalam menjalankan aktifitas politik.
Dan oleh sebab itulah masyarakat gampang meremehkan aktifitas politik, karena pendidikan politik dikalangan kita juga tidak dilakukan secara benar. Politik awut-awutan menjalar pula dimana-mana, janji-janji palsu bertebaran, kebohongan publik bermain dan sulit dikendalikan. Bahkan partai-partai politik yang ikut menentukan kebijakan sistem politik malah lebih duluan melanggar, akibat teracuni oleh pandangan yang mengatakan “aturan dibuat untuk dilanggar!”.
Ketika hal itu masuk ketengah umat Islam, dalam interaksi sosial disaat suara umat Islam sangat dibutuhkan demi membesarkan partai politik maka umat hanya menjadi objek untuk jadi batu loncatan meraih tampuk kekuasaan. Karena dasar pemahaman perpolitikan yang dibangun dinegeri kita telah rancu dan awut-awutan, orang tidak lagi memandang bahwa berpolitik juga dapat menjadi sarana ibadah dalam pengertian yang luas.
Dampaknya ialah apapun ideologi dalam sistem politik tidak lagi menjadi acuan penting, tak peduli itu sekuler, liberal, machiavelis, berhalaisme, bahkan yang nyerempet zionis, kapitalis dan agak atheis. Suara umat Islam yang idealnya dilimpahkan untuk menguatkan azas Islam dalam politik, malah berserakan dimana-mana. Dan pada akhirnya, umat Islam itu sendiri yang akhirnya termarginalkan akibat pilihannya yang keliru tadi.
Hal semacam itulah yang menjadi bahan pemikiran tentang perlunya pendidikan dan pencerahan politik ditengah umat Islam. Karena jika umat kurang memahami kondisi dan situasi perpolitikan, tidak tertutup kemungkinan melalui jalur inilah potensi umat Islam dilemahkan musuh-musuhnya. Dan siapakah yang dapat menjamin bahwa kekuatan zending tidak bermain dalam situasi politik dinegeri ini? Dan siapa pula yang dapat menjamin bahwa anak turunan ideologis komunis tidak akan muncul dan bangkit kembali dinegeri ini? Maka sekaranglah waktunya memikirkan.

APA YANG MELATARBELAKANGI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM?
Dalam kehidupan beragama yang majemuk, ditengah umat Islam juga terdapat keragaman dalam memandang aktifitas politik. Ada komunitas muslim yang sangat anti dengan partai politik. Mereka berpandangan bahwa partai politik adalah wadah mubazir, meniru-niru orang kafir dan sebagainya. Umumnya kelompok yang berfikir seperti ini telah didominasi dengan penilaian bahwa partai politik adalah perangkat demokrasi, sedangkan demokrasi adalah sistem diluar Islam. Akibatnya, komunitas ini enggan menjadi pemilih dalam setiap pemilu (menjadi golput).
Dan didalam kelompok muslim golput tersebut, tidak ada kerisauan sama sekali apakah yang akan naik memimpin negeri ini orang kafir atau orang mukmin. Mereka sibuk dengan aktifitas ekslusif dalam internal masing-masing sembari menjauhi apapun yang bernuansa politik.
Kajauhan umat Islam dengan politik justru akan memudahkan bagi gerakan-gerakan pemurtadan untuk menguasai negeri-negeri muslim. Kekuatan politik identik dengan pengaruh dan kekuasaan. Bayangkanlah jika umat Islam dibiarkan menjauhi hal-hal yang bersifat politik kekuasaan, dampaknya tiada lain ialah ruang kosong yang ditinggalkan umat Islam itu akan diisi oleh kekuatan lain dengan tujuan dan arah yang lain pula.
Bukankah umat diperintahkan untuk menegakkan ‘amar’ ma’ruf nahi munkar? Isim ‘amar’ disitu juga lazim diartikan oleh alim ulama’ sebagai ‘kekuasaan’ atau ‘pengaruh’. Tanpa adanya kekuasaan dan pengaruh, bagaimana mungkin bisa dilancarkan dengan baik segala upaya mengajak manusia kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar? Sejarah telah membuktikan, ketika negeri-negeri muslim tidak lagi dikuasai oleh orang muslim maka umat Islam cenderung menjadi objek kesadisan, penzhaliman, pemurtadan dan penindasan. Maka penting dilihat, dari sistem politik idiologi mana seseorang dinaikkan dalam tahta kekuasaan. Di Turki misalnya, berpuluh tahun lamanya sistem kekuasaan Turki didominasi partai-partai sekuler.
Siapakah yang membesarkan partai-partai sekuler di Turki? Tiada lain umat Islam sendiri, yang tadinya lalai dengan pendidikan politik bernuansa Islam. Dampaknya kemudian baru dirasakan setelah Turki kian diarahkan untuk menjadi semakin liberal dan sekuler. Dan sejak sepuluh tahun belakangan mulailah penduduk muslim Turki menyadari betapa pentingnya mereka memihak kepada partai-partai berazas Islam semisal Refah, Partai Kemakmuran (silahkan baca buku Gerakan dan Pemikiran Keagamaan, WAMI, Ishlahy Press) dan sebagainya itu.
Lantas bagaimana kondisi Indonesia? Kondisinya hampir sama saja dengan Turki. Umat Islam dinegeri ini justru kekuatan mayoritas yang mendominasi suara-suara pemilihan umum dan sejak Orla, Orba hingga era Reformasi ini kondisinya tak jauh berubah, partai politik berazas sekuler tetap dominan dan menjadi pilihan umat Islam. Padahal telah berdiri sejumlah kecil partai-partai politik berazas Islam. Orang muslim di Indonesia tidak memandang bahwa partai-partai berazas non Islam sebagai suatu yang berbahaya bagi keberlangsungan regenerasi muslim dinegerinya sendiri. Mungkin karena disebabkan tidak tegasnya orang menyatakan bahwa partai politiknya adalah berazas sekuler, sehingga dengan cara itu tidak ada alasan membedakannya dengan partai politik yang berazas Islam. Toh, juga elit-elit dipartai politik berazas sekuler tetap bisa menggunakan simbol-simbol Islam, merayakan hari-hari besar Islam sehingga mempengaruhi umat Islam untuk membesarkan partainya yang sejatinya ialah sekuler.
Toh juga sejumlah fakta membuktikan bahwa elit-elit partai politik berazas Islam tetap bisa terjerumus dalam lumpur korupsi yang membusuk itu. Sehingga masyarakat beranggapan sama saja, mau azas Islam atau sekuler.
Konteks itulah yang penting kita kaji mendalam. Apakah partai-partai politik yang menyebut diri mereka berazas Islam itu betul-betul menjalankan segala prinsip Islam dalam kesehariannya termasuk dalam perilaku politiknya? Jika hanya menggunakan simbol dan nama Islam, namun perilaku politiknya tiada beda dengan perilaku sekuler, lantas dimana membedakannya lagi? Betapa naif dan menyakitkan, jika Islam dibawa-bawa sebagai azas dan simbol politik, namun perilaku dan prinsip Islam dalam berpolitik malah ditinggalkan. Maka jangan kecewa jika umat akhirnya menjadi rapuh dan mudah diajak pihak lain untuk membesarkan kekuatan politik berazas non Islam. Untuk itulah maka penting evaluasi dan intropeksi dilevel partai-partai politik yang “mengaku” berazas Islam.
Hal yang cukup riskan misalnya, masih banyak aktifis partai politik berazas Islam yang lalai shalatnya. Bahkan sejumlah elit-elitnya terindikasi terlibat kecurangan dan permainan politik kotor berbau korupsi itu. Satu sisi kita ingin mengajak umat memihak untuk membesarkan partai-partai berazas Islam, disisi lain umat juga masih kurang percaya dengan perilaku politik yang dijalankan partai-partai berazas Islam itu. Dan akhirnya muncullah pendapat yang mengatakan bahwa ‘Islam adalah baju yang sempit” untuk dijalankan dalam azas partai politik. Pendapat seperti ini tentu pendapat orang yang kecewa dan marah besar dengan elit-elit politik yang mengaku memakai azas Islam namun tidak menjalankan prinsip Islam dengan sebenar-benarnya. Tapi juga amat menggetirkan jika Islam dikatakan sempit!.
Ada sejumlah orang berpendapat bahwa untuk menjalankan prinsip-prinsip Islam dalam berpolitik, tidak ada kemestian harus berada dalam partai politik berazaskan Islam jika orang-orang yang berada dalam partai politik berazas Islam itu belum bisa sepenuhnya istiqomah menjalankan segala nilai dan prinsip perilaku berpolitik sesuai Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa didalam partai politik berazas sekuler sekalipun terdapat banyak orang-orang yang sholeh dalam menjalankan ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Apakah sampai disitu pemikiran politik Islam berjalan? Padahal peran dan fungsi partai politik berada setingkat dibawah negara, partai politik juga memiliki kemampuan menentukan arah kebijakan, peraturan dan perundangan disebuah negara. Jangan-jangan memang begitu lancarnya distorsi pemahaman politik ditengah umat kita yang mayoritas ini. Atau memang kita sama-sama terlanjur terlelap dalam memaknai kewajiban mensyi’arkan Islam lewat segala jalur, padahal kita meyakini Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Tak ada alasan bagi kita selaku mukmin untuk menjauhi segala nuansa Islam dalam segala aspek kehidupan termasuk berpolitik itu sendiri. Apalagi undang-undang resmi negara kita ini tidak melarangnya. Sedangkan orang lain saja diluar Islam sudah berani dengan terbuka membawa simbol dan hakikat ajaran agama mereka dalam platform partai politik. Sementara ditengah umat Islam sendiri masih banyak yang salah faham dan salah mengerti jika saudaranya seiman memunculkan partai berazas Islam.

PENGUATAN KUBU ISLAM DIPARLEMEN MAKIN DIBUTUHKAN.
Apa pula khabar Indonesia ke depan? Didalam era yang dikatakan orang sebagai Millenium III atau juga Globalisasi dan sebagainya, tidak ada yang lain yang tampak kecuali akan terjadi dan sedang berlaku persaingan antar ideologi. Gejala bangkitnya faham sosialisme, liberalisme dengan ruh baru mereka sudah nampak membayang dalam suasana politik internasional. Sementara Islam belum nampak sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Dalam konteks jumlah memang umat Islam banyak dan diperhitungkan, namun secara kuantitas belum. Putaran ekonomi dunia Arab masih bergantung dengan kaum kapitalis yang memainkan peranan kuat di Jazirah Arab seluruhnya.
Ketergantungan dengan dollar juga tak dapat dihindari, dimana akan lahir kemandirian dunia Islam kembali? Segala aspek diperlukan untuk mengangkat kembali harkat dan martabat dunia Islam itu, termasuk dalam sistem keuangan, politik dan ekonomi.
Dalam al-Baqarah 120 sudah diterangkan bahwa akan tetap berlaku (abadi) apa yang disebut sebagai infiltrasi ideologi atau upaya-upaya mewarnai kehidupan orang beriman untuk berbalik kufur kepada Allah. Dalam dalam konteks itu segala lini kehidupan digunakan semua pihak yang hendak menggarami kehidupan umat Islam agar berbalik dari arah tujuan kehidupannya.
Siapapun pakar politik sama-sama memahami bahwa kesatuan kekuatan politik umumnya diarahkan untuk satu tujuan yang sama, demi kepentingan kolektif, demi kepentingan dominasi ideologi tertentu dalam mewarnai kehidupan yang luas.
Kenapa orang tidak takut ketika ada partai politik mendeklarasikan bahwa mereka berazaskan sekuler? Kenapa orang dibikin begitu khawatir jika muncul partai politik berazas Islam? Ada apa dengan Islam dalam konteks kepartaian didalam hal ini?
Mungkin kita dapat memahami karena adanya kecideraan sejarah masa lalu semisal yang dilakukan Masyumi dalam hubungannya dengan PRRI. Tapi kini, partai-partai berazas Islam tidak lagi mengarah kesitu, semua sepakat NKRI sudah final sebagaimana yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Lantas apa lagi yang dikhawatirkan?
Akibat khawatir yang tak tentu arah itu, maka dampaknya kontribusi penguatan kubu Islam diparlemen berpotensi melemah dari waktu ke waktu. Memang kubu Islam disini juga dapat diartikan sebanyak apa jumlahnya orang Islam duduk di parlemen kita. Jangan sampai dinegeri yang berpenduduk mayoritas muslim malah parlemennya didominasi kaum sekuler, sebagaimana yang dialami oleh Turki dan sebagainya.
Segala undang-undang dan peraturan yang sah dapat dilahirkan di parlemen, lantas sejauh mana orang Islam berfikir untuk turut mewarnai perjalanan kebangsaan kita dengan memasukkan kader-kader muslim di parlemen ke depan? Apa saja proses yang perlu dijalani oleh kader-kader tersebut untuk becus mewakili kepentingan dakwah Islam di parlemen, ini satu hal yang belum dikupas.
Jika sekedar membawa-bawa simbol-simbol Islam kedalam “baju” politik maka samalah artinya kita mencampakkan peran dan makna serta hakikat Islam itu sendiri dalam fungsinya memberi kerahmatan bagi semua. Kubu Islam diparlemen bukan hendak merubah secara drastis segala bangunan bangsa dan negara ini, jangan diartikan sejauh itu sehingga “mudah” dituduh yang bukan-bukan nantinya. Akan tetapi setidaknya dakwah dan aspirasi umat Islam ini dapat tersalurkan dengan mudah tanpa kontrak politik yang mahal-mahal itu.
Yang mahal-mahal itu seperti “terjual”nya Ormas Islam dalam mendukung partai-partai berazas sekuler…dan akhirnya, sangat mahal sekali taruhannya ke depan bagi nasib umat ini dimasa akan datang. Proses marginalisasi umat Islam dalam konteks politik justru terjadi karena banyaknya tokoh-tokoh Islam “menyebrangi” azas Islam menuju basis-basis kekuatan sekuler. Sehingga umat kehilangan izzah dirumahnya sendiri.
Wallahul musta’an.